Rabu, 12 Juni 2013

REFLEKSI “ETHNOMATEMATIKA DALAM ILMU”




Hari ini adalah pertemuan terakhir mata kuliah ethnomatematika pada jurusan pendidikan matematika program S1. Pertama- tama tentang strategi perkuliahan, kapanpun, dimanapun, dan di berbagai kesempatan kuliah tingkat S1, S2, kuliah Bahasa Inggris, PGSD, Ethnomatematika, Filsafat dan lain sebagainya, selalu diusahakan menggunakan student center yang tetap disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dikombinasikan. Bukan berarti student center selalu terlihat di dalam kelas tetapi lebih secara keseluruhan.
Student center bersesuaian dengan paradigm atau teori pembelajaran konstruktivis. Jika ada orang yang mengatakan CTL merupakan salah satu dari konstruksivis boleh- boleh saja. Disini pendekatan CTL bukan berarti rumus tetapi lebih mendekatkan pada pengertian ontologism bahwa CTL memiliki dua komponen yaitu terkait dan persiapan. Persiapan dalam rangka agar seseorang siap dengan segala sesuatunya yang saling terkait dengan hal- hal lain. karena manuasia tidak bisa berpikir jika terisolasi. Maka harus berkaitan dengan hal- hal lain.
Dengan begitu dengan berbagai cara, baik itu tatap muka atau penugasan. Namun disini yang paling ditonjolkan adalah pengembangan weblog. Ini ditujukan untuk mengembangkan paradigma belajar terus (continue), dimanapun dan kapanpun.
 Kemudian kemandirian subyek didik baik siswa maupun mahasiswa diawali dengan kemerdekaan untuk mnyatakan pendapat. Maka berpikir berbeda itu sangat diperbolehkan dan disarankan. Sebagai seorang guru/ dosen, sangat tidak disarankan memiliki anggapan bahwa pemikiran siswa harus sesuai dengan gurunya.Maka tidak mudah bagi orang yang masih berada dalam konteks budaya tradisional untuk keluar kecuali mengalami hal- hal yang luar biasa.
Berkaitan dengan ethnomatematika, jika dilihat dari unsur kata yaitu ethno= ethnicity. Bila kita berpikir secara awam, maka ethnicity berarti konteks budaya local, konteks budaya sesuai dengan masyarakatnya. Ethnomatematika jika dilihat dari struktur bahasanya belum dapat menunjukan arah ke pendidikan karena masih bersifat umum/ netral. Walaupun ethnomatematika juga dikembangkan oleh orang pendidikan, matematika sendiri dikembangkan oleh peradaban manusia dan peradaban manusia tidak pernah berhenti. Sehingga selama manusia masih ada, maka selama itu pula peradaban akan tumbuh dan berkembang. Ethnomatematika dalam konteks sejarah ada dua, yaitu jaman sekarang dan jaman dulu. Artinya ethnomatematika mengandung unsur masyarakat. Sejarah juga matematikanya dimana pemikiran- pemikirannya bisa menjadi foundation/ foundamen dari pengembangan matematika. Dalam sejarah matematika, kita mempelajari matematika sejak jaman Mesopotamia, Babilonia, Mesir kuno, yunani kuno sampai jaman pertengahan dan berbagi penemuan (kalkulus, geometri modern, dll). Jadi ethnomatematika juga terikat dengan sejarah.
Dengan demikian orang  matematika murni dalam konteks bukan kepentingan kependidikan bisa saja menggunakan ethnomatematika untuk memperoleh inspirasi pengembangan matematika. Kemudian dari refferensi- refferensi yang ada, kita bisa melihat criteria- criteria yang tergolong dalam ethnomatematika itu apa saja. Seperti lambang, tertulis, artefak, value- value yang berlaku dalam matematika, tata cara budaya, dan seterusnya.
Kemudian pertanyaan selanjutnya, apakah ethnomatematika merupakan suatu ilmu? Pertanyaan ini sama dengan pertanyaan Emanuel Khan yang bertanya apakah matematika, fisika, biologi itu merupakan ilmu? Criteria ilmu menurut Emanuel Khan adalah ilmu harus bersifat sintetik apriori. Jadi matematika murni menurut Emanuel Khan bukan merupakan ilmu karena matematika murni hanya bersifat apriori dan tidak sintetik tetapi bersifat analitik apriori, kebenaranya hanya mengandalkan konsistensi dari suatu ide ke ide yang lain. sehingga matematika murni tidak ada kaitannya dengan pengalaman. Artinya menurut Emanuel Khan, matematika bukan merupakan ilmu karena ilmu itu seharusnya bersifat sintetik dan sintetik itu diperoleh dari pengalaman.
Sedangkan matematika hanya ada di dalam dunia pikiran  dan dunia itu apriori analitik, sedangkan dunia pengalaman itu sintetik apriori. Maka ethnomatematika akan berupa ilmu jika dipikirkan menggunakanmetodologi secara ilmiah, logika, berpikir kritis dan berdasarkan pengalaman. Jelas dari unsur ethnomatematikanya berpotensi untuk erat kaitannya dengan pengalaman orang- orang tertentu, di daerah tertentu, di lingkungan- lingkungan tertentu.
Sebenarnya apakah yang disebut ilmu? Apapun yang disebut ilmu, pada akhirnya harus memiliki kategori. Darimana kategori tersebut diperoleh? Kategori tersebut dapat diperoleh dari intuisi dan intuisi sendiri diperoleh dari pengalaman. Jadi, apakah ethnomatematika dapat dikatakan sebagai ilmu? Ethnomatematika dapat dikatakan sebagai ilmu jika bersifat apriori dan sintetik. Sintetik harus didukung oleh pengalaman, apriori harus didukung oleh logika. Apakah ethnomatematika bermanfaat untuk pengembangan karya ilmiah? Jawabannya tergantung apakah didalamnya terdapat criteria atau tidak. Kemudian bagaimana criteria tersebut dapat ditemukan? Criteria ditemukan dengan cara mengadakan research atau penelitian. Ilmu harus bersifat akuntable. Siapa sebenarnya pelaku penelitian itu? Pelaku penelitian secara internasional minimal seorang doctor.
Kembali pada ethnomatematika yang erat kaitannya dengan pendidikan yaitu masalah pembelajaran. Secara ontology, secara hakikinya, hakikat ilmu itu jiks memiliki obyek maka obyek ethnomatematika tersebut adalah semua gagasan ethnomatematika yang berada di dalam masyarakat. Semua fenomena yang ada di dalam duania ini selalu berdimensi. Sehingga obyek matematika yang ada di masyarakat bisa bersifat soft, hard, weak, dan strong.
Apa pedulinya mempelajari ethnomatematika? setelah kita mengetahui obyeknya, kita perlu mengetahui kedudukan dan statusnya. Ethomatematika bersifat netral, belum memuat pendidikan tetapi bisa saja kemudian diberikan muatan pendidikan untuk kepentingan pendidikan. Maka statusnya, ethnomatematika menyediakan variasi sumber belajar, kegiatan, pengalaman dan konteks. Maka ethnomatematika berada di dunia bawah, konkrit, masih belum abstrak dan itu semua berada di dalam pikiran siswa.
Problem pembelajaran matematika bukan disebabkan oleh anaka muda, peserta didik tetapi disebabkan oleh guru, orang tua, orang- orang pengambil kebijakan. Kenapa? Karena yang mereka pikirkan matematika merupakan ilmu yang disusun secara deduksi, bersifat abstrak yang merupakan struktur kebenaran. Hal tersebut merupakan bencana bagi anak- anak kecil. Artinya kita termasuk orang- orang yang bodoh. Kenapa? Karena kita tidak dinamis dan kreatif, fleksibel dalam menerapkan metode. Maka kita harus menyesuaikan dengan metodenya. Tetepi yang terjadi di pendidikan matematika adalah ketidak pedulian, semuanya hanya berupa definisi. Pendidikan kita telah kehilangan intuisi oleh guru- guru yang lebih menggunakan definisi. Matematika untuk anak sekolah dasar didefinisikan sebagai pengalaman. Dari pengalaman tersebut munculah intuisi. Maka anak yang cerdas adalah anak yang memiliki banyak pengalaman.
Dimanakah dunia ethnomatematika? Lokasi? Ethnomatematika dunianya berada di inovasi. Dari sisi kurikulum terdapat tiga posisi guru, yaitu sebagai pelaksana, partisipasi dan pengembang. Jadi posisi/ kedudukan ethnomatematika di wilayahnya adalah inovasi pembelajaran. Bila guru telah melakukan inovasi pembelajaran barulah ethnomatematika baru tampak. Syarat seorang guru menjadi berinovasi dalam pembelajaran yaitu harus menjadi pengembang kurikulum, bukan sekadar pelaksana. Guru pengembang adalah guru researcher atau peneliti. Untuk menjadi seorang researcher terdapat dua tahap, yaitu pengalaman dan bacaan.
Jadi ethnomatematika adalah jendela atau lahan untuk orang yang ingi mengadakan research di pendidikan matematika. Metodenya dengan menggunakan metode kuantitatif yang masih ditentang oleh orang- orang yang beraliran positive atau orang- orang ilmiah.
  
 


Rachma Hanan Tiasto
11313244020
Pendidikan Matematika Internasional 2011