Hari
ini adalah pertemuan terakhir mata kuliah ethnomatematika pada jurusan
pendidikan matematika program S1. Pertama- tama tentang strategi perkuliahan,
kapanpun, dimanapun, dan di berbagai kesempatan kuliah tingkat S1, S2, kuliah
Bahasa Inggris, PGSD, Ethnomatematika, Filsafat dan lain sebagainya, selalu
diusahakan menggunakan student center yang tetap disesuaikan dengan situasi dan
kondisi serta dikombinasikan. Bukan berarti student center selalu terlihat di
dalam kelas tetapi lebih secara keseluruhan.
Student
center bersesuaian dengan paradigm atau teori pembelajaran konstruktivis. Jika
ada orang yang mengatakan CTL merupakan salah satu dari konstruksivis boleh-
boleh saja. Disini pendekatan CTL bukan berarti rumus tetapi lebih mendekatkan
pada pengertian ontologism bahwa CTL memiliki dua komponen yaitu terkait dan
persiapan. Persiapan dalam rangka agar seseorang siap dengan segala sesuatunya
yang saling terkait dengan hal- hal lain. karena manuasia tidak bisa berpikir
jika terisolasi. Maka harus berkaitan dengan hal- hal lain.
Dengan
begitu dengan berbagai cara, baik itu tatap muka atau penugasan. Namun disini
yang paling ditonjolkan adalah pengembangan weblog. Ini ditujukan untuk
mengembangkan paradigma belajar terus (continue), dimanapun dan kapanpun.
Kemudian kemandirian subyek didik baik siswa
maupun mahasiswa diawali dengan kemerdekaan untuk mnyatakan pendapat. Maka berpikir
berbeda itu sangat diperbolehkan dan disarankan. Sebagai seorang guru/ dosen,
sangat tidak disarankan memiliki anggapan bahwa pemikiran siswa harus sesuai
dengan gurunya.Maka tidak mudah bagi orang yang masih berada dalam konteks
budaya tradisional untuk keluar kecuali mengalami hal- hal yang luar biasa.
Berkaitan
dengan ethnomatematika, jika dilihat dari unsur kata yaitu ethno= ethnicity.
Bila kita berpikir secara awam, maka ethnicity berarti konteks budaya local,
konteks budaya sesuai dengan masyarakatnya. Ethnomatematika jika dilihat dari
struktur bahasanya belum dapat menunjukan arah ke pendidikan karena masih
bersifat umum/ netral. Walaupun ethnomatematika juga dikembangkan oleh orang
pendidikan, matematika sendiri dikembangkan oleh peradaban manusia dan
peradaban manusia tidak pernah berhenti. Sehingga selama manusia masih ada,
maka selama itu pula peradaban akan tumbuh dan berkembang. Ethnomatematika
dalam konteks sejarah ada dua, yaitu jaman sekarang dan jaman dulu. Artinya
ethnomatematika mengandung unsur masyarakat. Sejarah juga matematikanya dimana
pemikiran- pemikirannya bisa menjadi foundation/ foundamen dari pengembangan
matematika. Dalam sejarah matematika, kita mempelajari matematika sejak jaman Mesopotamia,
Babilonia, Mesir kuno, yunani kuno sampai jaman pertengahan dan berbagi
penemuan (kalkulus, geometri modern, dll). Jadi ethnomatematika juga terikat
dengan sejarah.
Dengan
demikian orang matematika murni dalam
konteks bukan kepentingan kependidikan bisa saja menggunakan ethnomatematika
untuk memperoleh inspirasi pengembangan matematika. Kemudian dari refferensi- refferensi
yang ada, kita bisa melihat criteria- criteria yang tergolong dalam
ethnomatematika itu apa saja. Seperti lambang, tertulis, artefak, value- value
yang berlaku dalam matematika, tata cara budaya, dan seterusnya.
Kemudian
pertanyaan selanjutnya, apakah ethnomatematika merupakan suatu ilmu? Pertanyaan
ini sama dengan pertanyaan Emanuel Khan yang bertanya apakah matematika,
fisika, biologi itu merupakan ilmu? Criteria ilmu menurut Emanuel Khan adalah
ilmu harus bersifat sintetik apriori. Jadi matematika murni menurut Emanuel
Khan bukan merupakan ilmu karena matematika murni hanya bersifat apriori dan
tidak sintetik tetapi bersifat analitik apriori, kebenaranya hanya mengandalkan
konsistensi dari suatu ide ke ide yang lain. sehingga matematika murni tidak
ada kaitannya dengan pengalaman. Artinya menurut Emanuel Khan, matematika bukan
merupakan ilmu karena ilmu itu seharusnya bersifat sintetik dan sintetik itu
diperoleh dari pengalaman.
Sedangkan
matematika hanya ada di dalam dunia pikiran dan dunia itu apriori analitik, sedangkan dunia
pengalaman itu sintetik apriori. Maka ethnomatematika akan berupa ilmu jika
dipikirkan menggunakanmetodologi secara ilmiah, logika, berpikir kritis dan
berdasarkan pengalaman. Jelas dari unsur ethnomatematikanya berpotensi untuk
erat kaitannya dengan pengalaman orang- orang tertentu, di daerah tertentu, di
lingkungan- lingkungan tertentu.
Sebenarnya
apakah yang disebut ilmu? Apapun yang disebut ilmu, pada akhirnya harus
memiliki kategori. Darimana kategori tersebut diperoleh? Kategori tersebut
dapat diperoleh dari intuisi dan intuisi sendiri diperoleh dari pengalaman. Jadi,
apakah ethnomatematika dapat dikatakan sebagai ilmu? Ethnomatematika dapat
dikatakan sebagai ilmu jika bersifat apriori dan sintetik. Sintetik harus
didukung oleh pengalaman, apriori harus didukung oleh logika. Apakah ethnomatematika
bermanfaat untuk pengembangan karya ilmiah? Jawabannya tergantung apakah
didalamnya terdapat criteria atau tidak. Kemudian bagaimana criteria tersebut
dapat ditemukan? Criteria ditemukan dengan cara mengadakan research atau
penelitian. Ilmu harus bersifat akuntable. Siapa sebenarnya pelaku penelitian
itu? Pelaku penelitian secara internasional minimal seorang doctor.
Kembali
pada ethnomatematika yang erat kaitannya dengan pendidikan yaitu masalah
pembelajaran. Secara ontology, secara hakikinya, hakikat ilmu itu jiks memiliki
obyek maka obyek ethnomatematika tersebut adalah semua gagasan ethnomatematika
yang berada di dalam masyarakat. Semua fenomena yang ada di dalam duania ini
selalu berdimensi. Sehingga obyek matematika yang ada di masyarakat bisa
bersifat soft, hard, weak, dan strong.
Apa
pedulinya mempelajari ethnomatematika? setelah kita mengetahui obyeknya, kita
perlu mengetahui kedudukan dan statusnya. Ethomatematika bersifat netral, belum
memuat pendidikan tetapi bisa saja kemudian diberikan muatan pendidikan untuk
kepentingan pendidikan. Maka statusnya, ethnomatematika menyediakan variasi
sumber belajar, kegiatan, pengalaman dan konteks. Maka ethnomatematika berada
di dunia bawah, konkrit, masih belum abstrak dan itu semua berada di dalam
pikiran siswa.
Problem
pembelajaran matematika bukan disebabkan oleh anaka muda, peserta didik tetapi
disebabkan oleh guru, orang tua, orang- orang pengambil kebijakan. Kenapa? Karena
yang mereka pikirkan matematika merupakan ilmu yang disusun secara deduksi,
bersifat abstrak yang merupakan struktur kebenaran. Hal tersebut merupakan
bencana bagi anak- anak kecil. Artinya kita termasuk orang- orang yang bodoh. Kenapa?
Karena kita tidak dinamis dan kreatif, fleksibel dalam menerapkan metode. Maka kita
harus menyesuaikan dengan metodenya. Tetepi yang terjadi di pendidikan
matematika adalah ketidak pedulian, semuanya hanya berupa definisi. Pendidikan kita
telah kehilangan intuisi oleh guru- guru yang lebih menggunakan definisi. Matematika
untuk anak sekolah dasar didefinisikan sebagai pengalaman. Dari pengalaman
tersebut munculah intuisi. Maka anak yang cerdas adalah anak yang memiliki
banyak pengalaman.
Dimanakah
dunia ethnomatematika? Lokasi? Ethnomatematika dunianya berada di inovasi. Dari
sisi kurikulum terdapat tiga posisi guru, yaitu sebagai pelaksana, partisipasi
dan pengembang. Jadi posisi/ kedudukan ethnomatematika di wilayahnya adalah
inovasi pembelajaran. Bila guru telah melakukan inovasi pembelajaran barulah
ethnomatematika baru tampak. Syarat seorang guru menjadi berinovasi dalam
pembelajaran yaitu harus menjadi pengembang kurikulum, bukan sekadar pelaksana.
Guru pengembang adalah guru researcher atau peneliti. Untuk menjadi seorang researcher
terdapat dua tahap, yaitu pengalaman dan bacaan.
Jadi
ethnomatematika adalah jendela atau lahan untuk orang yang ingi mengadakan
research di pendidikan matematika. Metodenya dengan menggunakan metode
kuantitatif yang masih ditentang oleh orang- orang yang beraliran positive atau
orang- orang ilmiah.
Rachma
Hanan Tiasto
11313244020
Pendidikan
Matematika Internasional 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar